Perusak Keislaman
PERUSAK KEISLAMAN
Allah Azza wa Jalla telah memberikan karunia yang sangat berharga kepada umat ini. Pengutusan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasulullâh dengan membawa agama Islam merupakan nikmat agung. Allah Azza wa Jalla berfirman :
لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.[Ali Imrân/3:164]
Oleh karena itu, kita wajib mensyukuri, menjaga dan memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar kita dilindungi dari segala yang bisa merusak nikmat yang sangat berharga ini. Selama kita masih diberi kesempatan hidup oleh Allah Azza wa Jalla , janganlah kita merasa bahwa nikmat ini (Islam) akan tetap ada dan terpelihara pada diri kita. Nabi Ibrâhîm Alaihi wa sallam , meski beliau n telah menghancurkan berhala yang disembah oleh kaumnya kala itu, beliau Alaihi wa sallam tetap mengkhawatirkan diri beliau. Beliau Alaihi wa sallam berdo’a :
وَّاجْنُبْنِيْ وَبَنِيَّ اَنْ نَّعْبُدَ الْاَصْنَامَ ۗ
… Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari penyembahan terhadap berhala-berhala [Ibrâhîm/14:35]
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla supaya kita diberi ketetapan hati di atas nikmat yang agung ini. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca do’a :
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
Wahai dzat yang membolak-balik hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu
Apalagi di zaman seperti sekarang ini, saat kepedulian terhadap agama ini mengalami penurunan drastis. Sementara para penyeru kesesatan bebas berkeliaran untuk menjajakan kesesatan lewat berbagai media. Kesesatan-kesesatan yang mereka jajakan dibungkus dengan kulit indah mempesona. Sehingga tak mengherankan, karena ketidaktahuan, banyak orang yang silau dan menerima kesesatan ini sebagai sebuah kebenaran yang dijadikan sebagai pedoman. Akibatnya, yang benar dianggap suatu yang keliru dan sebaliknya, kekufuran dianggap sebuah kemajuan dan dielu-elukan. Na’udzubillâh. Nikmat Islam ini berangsur-angsur hilang dari seseorang, akhirnya dia murtad (keluar dari Islam) dan statusnya berubah menjadi kafir.
Para Ulama’ sejak zaman dahulu telah memberikan porsi perhatian lebih terhadap masalah-masalah yang bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad (keluar dari agama Islam) ini. Mereka telah menyusun kitab-kitab untuk jelaskan permasalahan ini. Mereka juga membuat bab khusus dalam kitab-kitab fikih yang mereka sebut dengan “Bab Hukum Murtad”. Dalam bab ini, mereka menjelaskan dan memberikan perincian tentang hal-hal yang bisa membatalkan keislaman seseorang dan juga hukum orang yang melakukan pembatal-pembatal ini.
Banyak hal yang bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad. Di antaranya, ada yang berbentuk perkataan, perbuatan, keyakinan dan keragu-raguan. Perkataan-perkataan yang dilontarkan seseorang terkadang bisa menyebabkan dia menjadi kafir ketika itu juga; Begitu juga dengan tindakan yang dilakukan seseorang atau keyakinan kuat dalam hati yang dipegangi dengan erat-erat ataupun keraguan-raguan yang dipendam dalam hatinya terkadang bisa menyeret seseorang ke lembah kekufuran. Na’ûdzubillâh.
Murtad Dengan Sebab Perkataan
Syaikh Shâlih Fauzân hafizhahullâh mengatakan, “Seseorang bisa murtad dengan sebab perkataan jika dia mengucapkan kalimat kufur atau syirik, bukan dalam keadaan terpaksa, baik serius, gurau atau berlucu. Jika ada orang yang mengucapkan kufur, maka dia dihukumi murtad, kecuali jika dia terpaksa mengucapkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَلَقَدْ قَالُوْا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوْا بَعْدَ اِسْلَامِهِمْ
Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam [at-Taubah/9:74]
Tentang orang-orang yang mencela Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat g dengan mengatakan, “Kami tidak pernah melihat orang-orang yang sama dengan para ahli baca kita. Mereka ini ucapannya bohong, lebih cendrung ke perut dan paling pengecut saat berjumpa musuh (maksudnya Rasulullâh dan para Sahabat),” Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اِنَّمَا كُنَّا نَخُوْضُ وَنَلْعَبُۗ قُلْ اَبِاللّٰهِ وَاٰيٰتِهٖ وَرَسُوْلِهٖ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِءُوْنَ٦٥ لَا تَعْتَذِرُوْا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ اِيْمَانِكُمْ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Kalian tidak usah minta maaf, karena kalian telah kafir sesudah beriman. [at-Taubah/9:65-66]
Ketika tahu Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima wahyu tentang ucapan mereka, mereka bergegas menemui Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menjelaskannya dan meminta maaf. Namun Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bergeming.” Selanjutnya Syaikh Shalih Fauzân hafidzahullâh menyimpulkan, “Ini menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan kalimat-kalimat kufur bukan karena terpaksa, bisa menjadi kafir, meskipun dia menganggap sedang bermain, bergurau atau demi menghibur orang lain. Ini juga sebagai bantahan terhadap golongan Murji’ah yang berpendapat bahwa seseorang tidak bisa kafir dengan sebab perkataan semata kecuali kalau perkataan itu disertai keyakinan dalam hati.”[1]
Syaikh Bin Bâz rahimahullah memberikan contoh perkataan yang bisa menyeret seseorang ke dalam jurang kekufuran yaitu mencela Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, seperti mengatakan, “Allah Azza wa Jalla zhalim; Allah Azza wa Jalla Bakhîl; Allah Azza wa Jalla faqîr; Allah Azza wa Jalla tidak mengetahui sebagian masalah; Allah Azza wa Jalla tidak mampu dalam sebagian masalah.[2]
Beliau rahimahullah juga memasukkan perkataan, “Sesungguh Allah Azza wa Jalla tidak mewajibkan kita melakukan Shalat.” dalam perkataan kufur. Beliau rahimahullah mengatakan, “Orang yang mengucapkan perkataan ini telah kafir keluar dari agama Islam, berdasarkan ijmâ’. Kecuali jika dia memang tidak tahu dan bertempat tinggal di daerah terpencil, jauh dari kaum Muslimin. Orang seperti ini harus diajari. Jika setelah diajari, dia masih seperti itu, berarti dia kafir. Sedangkan jika orang yang mengucapkan itu, orang yang berdomisili di tengah kaum Muslimin serta memahami ajaran-ajaran agama, maka ini merupakan sebuah kemurtadan. Orang ini harus diminta supaya bertaubat. Jika dia bertaubat maka alhamdulillâh, namun jika tidak maka dia kenai hukuman mati.”[3]
Termasuk perkataan yang bisa menyebab kekufuran yaitu berdo’a kepada selain Allah Azza wa Jalla , seperti ucapan, “Wahai Fulan! bantulah saya, selamatkanlah saya! Sembuhkanlah saya!” yang diarahkan kepada orang yang sudah meninggal atau kepada jin, setan atau kepada orang yang sedang tidak ada di lokasi permohonan. Ini termasuk ucapan kekufuran.[4]
Ucapan-ucapan kufur ini jika terpaksa diucapkan, misalnya diancam dibunuh atau akan disiksa jika tidak mengucapkannya, maka ketika itu si pengucap tidak dihukumi kafir, dengan syarat hatinya tetap teguh meyakini Islam. sebagaimana kisah ‘Amâr bin Yâsir Radhiyallahu anhu yang terpaksa mengucapkan kalimat kufur setelah dipaksa oleh orang-orang kafir dengan berbagai siksa. Allah Azza wa Jalla berfirman :
اِلَّا مَنْ اُكْرِهَ وَقَلْبُهٗ مُطْمَىِٕنٌّۢ بِالْاِيْمَانِ
… kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), [an-Naml/16:106]
Murtad Dengan Sebab Perbuatan
Syaikh Bin Bâz rahimahullah memberikan contoh perbuatan-perbuatan yang bisa menyebab pelakunya terjerumus dalam kemurtadan yaitu :
- Sengaja meninggalkan shalat meskipun dia tetap meyakini shalat itu wajib. Menurut pendapat yang terkuat dari dua pendapat dalam masalah ini, ini merupakan sebuah tindakan kemurtadan. Berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Batas antara kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti dia telah kafir. [HR Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasâ’i, Ibnu Mâjah dengan sanad shahîh]
Juga Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلَاةِ
Batas antara seseorang dengan kesyirikan serta kekufuran adalah meninggalkan shalat [HR Imam Muslim dalam shahîh beliau rahimahullah]
- Melecehkan al-Qur’ân dengan cara diduduki, dilumuri benda najis atau diinjak. Orang yang melakukan perbuatan ini telah murtad dari Islam.
- Melakukan ibadah thawaf di kuburan (mengelilinginya-red) dengan tujuan mendekatkan diri atau menyembah penghuni kuburan. Sedangkan thawaf dikuburan dengan tujuan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla , maka ini termasuk perbuatan bid’ah yang bisa menggrogoti dien seseorang. Ini juga sebagai salah satu pintu kesyirikan. Hanya saja pelakunya tidak sampai murtad.
- Menyemblih untuk selain Allah Azza wa Jalla, misalnya menyemblih binatang dengan tujuan beribadah kepada penghuni kubur; beribadah kepada jin dan lain sebagainya. Daging binatang yang disembelih itu hukum haram untuk dikonsumsi sedangkan orang yang melakukan ritual ini telah murtad, keluar dari Islam.[5]
Syaikh Shâlih Fauzân hafizhahullâh menegaskan bahwa orang yang menyembelih untuk berhala, patung atau sujud kepadanya, maka dia telah menjadi musyrik , meskipun dia masih shalat,puasa dan haji. Karena keislaman telah batal dengan sebab perilaku syiriknya. Na’ûdzubillâh[6]
Murtad Dengan Sebab Keyakinan
Keyakinan dalam kalbu seseorang bisa menyebabkan dia selamat atau sebaliknya bisa membawa petaka yang tidak berkesudahan jika dia meninggal sebelum bertaubat. Meskipun keyakinan ini tidak terucap atau belum mampu diwujudkan dalam dunia nyata. Di antara contoh-contoh keyakinan berbahaya ini adalah :
- Berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla itu fakir, zhalim memiliki sifat buruk lainnya. Meskipun ini belum terucap, orang yang memendam keyakinan ini telah keluar dari Islam menurut ijmâ‘ kaum Muslimin.
- Berkeyakinan bahwa tidak ada hari kebangkitan setelah kematian atau berkeyakinan bahwa itu hanya ilustrasi yang tidak ada dalam alam nyata, tidak ada surga dan neraka.
- Berkeyakinan bahwa Rasul terakhir, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak jujur serta berkeyakinan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan rasul terakhir. Keyakinan ini menyebab kekufuran meskipun orang yang meyakini hal ini tidak mengucapkannya.
- Berkeyakinan bahwa berdo’a atau beribadah kepada selain Allah Azza wa Jalla tidak apa-apa, seperti berdo’a atau beribadah kepada para nabi, matahari, bintang-bintang atau lain sebagainya. Allah Azza wa Jalla berfirman :
ذٰلِكَ بِاَنَّ اللّٰهَ هُوَ الْحَقُّ وَاَنَّ مَا يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهٖ هُوَ الْبَاطِلُ
(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah Karena Sesungguhnya Allah, dialah (Rabb) yang Hak dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, Itulah yang batil, [al-Hajj/22:62]
dan masih banyak dalil-dalil lain yang senada.
Jadi orang yang berkeyakinan bahwa seseorang boleh beribadah kepada selain Allah Azza wa Jalla berarti dia telah kafir. Jika keyakinan ini diucapkan dengan lisannya berarti dia kafir dengan dua sebab yaitu ucapan dan keyakinan. Jika ada yang seperti itu lalu dia juga berdo’a kepada selain Allah Azza wa Jalla berarti dia kafir dengan tiga sebab sekaligus, ucapan, keyakinan dan perbuatan.
Termasuk dalam poin ini, apa yang dilakukan oleh para penyembah kuburan saat ini di berbagai daerah. Mereka mendatangi kuburan orang-orang yang dianggap shalih atau dianggap wali lalu mereka meminta tolong kepadanya. Orang yang melakukan seperti ini berarti dia telah kafir dengan tiga sebab yaitu keyakinan, perkataan dan perbuatan[7].
Murtad Dengan Sebab Ragu
Jika ada seseorang yang meragukan kebenaran risalah yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau meragukan keberadaan hari kebangkitan setelah kematian atau keberadaan surga dan neraka, maka orang ini telah kafir. Meskipun dia masih shalat, puasa atau melakukan berbagai amal kebaikan, selama hatinya masih menyimpan keragu-raguan maka dia tetap kafir. Namun, yang perlu kita ingat dan camkan adalah kita sebagai manusia hanya bisa menghukumi secara zhahir saja. artinya, jika kita melihat seseorang yang secara zhahir dia melakukan shalat, puasa, haji, zakat dan lain sebagainya, maka kita menghukumi dia sebagai seorang Muslim dan kita perlakukan sebagai seorang Muslim. Jika dia meninggal kita shalatkan dan dimakamkan sebagaimana syari’at Islam. Sedangkan keyakinan yang tersembunyi dalam hatinya, yakinkah dia ataukah ragu, beriman ataukah kafir, hanya Allah Azza wa Jalla yang tahu.[8]
inilah empat hal yang bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad :
- Mengucapkan kalimat kufur atau syirik, bukan karena terpaksa
- Meyakini suatu yang kufur atau syirik
- Melakukan perbuatan kufur atau syirik
- Ragu terhadap kebenaran dien yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sebagai seorang Muslim yang mendambakan keselamatan dunia dan akhirat, maka seharusnya kita berusaha sekuat tenaga untuk menjaga agar jangan sampai keyakinan kita terhadap agama ini tidak terkikis sedikit demi sedikit akibat dari perbuatan kita sendiri, yang pada gilirannya nanti hilang. Na’ûdzubillâh.
Semoga Allah Azza wa Jalla menjauhkan kita dari segala yang bisa merusak atau membatalkan keislaman kita. Amin
Marâji :
- Majmû’ Fatâwâ Wa Maqâlât Mutanawwi’ah, Syaikh `Abdul Azîz bin `Abdillâh bin Bâz, Cet. Muassasah al-haramain al-Khairiyyah
- Durûs Fi Syarhi Nawâqidil Islâm, Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Cet. Ke-tiga, Maktabatur Rusyd
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Durûs Fi Syarhi Nawâqidil Islâm, hlm. 20-21
[2] Majmû’ Fatâwâ Wa Maqalât Mutanawwi’ah, 8/15
[3] Majmû’ Fatâwâ Wa Maqalât Mutanawwi’ah 8/15
[4] Lihat Durûs Fî Syarhi Nawâqidil Islâm, hlm. 21
[5] Majmû’ Fatâwâ Wa Maqâlât Mutanawwi’ah, 8/15-17
[6] Lihat Durûs Fi Syarhi Nawâqidil Islâm, hlm. 24
[7] Majmû’ Fatâwâ Wa Maqâlât Mutanawwi’ah, 8/17-18
[8] Lihat Syarhu Nawâqidil Islâm, hlm. 24
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/65701-perusak-keislaman-2.html